Bagi band heavy metal beranggotakan para gadis dari Indonesia ini, musik adalah ‘suara pemberontakan’

Amari Rose Leigh  | 

Voice of Baceprot menentang stereotip tentang gender, budaya, dan agama melalui musik heavy metal.

Menurut Voice of Baceprot, band beranggotakan para gadis dari Indonesia, musik heavy metal “tidak terikat aturan”. Hal yang sama juga berlaku bagi para gadis ini. Mengguncang panggung dalam balutan hijab, jaket kulit, dan cat kuku hitam, tiga remaja ini mendobrak norma gender serta agama dalam komunitas Muslim konservatif mereka.

Dibesarkan di pedesaan Jawa Barat yang berjarak lima jam dari selatan Jakarta, vokalis sekaligus gitaris Firdda Kurnia, penggebuk drum Eusi Siti Aisyah, dan basis Widi Rahmawati, bertemu saat sama-sama duduk di bangku madrasah (sekolah Muslim). Ketiganya jatuh cinta dengan musik heavy metal usai guru mereka (yang kini menjadi manajer band mereka), Abah Erza, memainkan lagu “Toxicity” dari SOAD.

“Usai mendengarnya, kami merasa menemukan hal yang begitu cocok dengan karakter kami yang berisik dan kritis,” kenang mereka. Mereka pun mulai bereksperimen dengan jenis musik ini, seperti belajar bermain gitar sebelum merambah ke instrumen lain, dan menentukan posisi masing-masing dalam band. “Instrumen yang saat ini kami mainkan benar-benar dipilih dari hati,” ungkap band ini. “Instrumen pilihan kami saat ini adalah instrumen yang membantu menunjukkan potensi kami di bidang musik.”

Jelas bahwa “potensi” memang menjadi bekal para musisi muda ini. Sejak Firdda, Eusi, dan Widi mendirikan Voice of Baceprot pada 2014, popularitas band ini kian melejit di Indonesia, negara dengan kancah metal underground yang begitu kental. Mereka beraksi dalam tiga pertunjukan setiap bulannya dan telah unjuk gigi di sejumlah panggung terbesar di Indonesia. Kendati menurut mereka setiap panggung “selalu berkesan,” beberapa momen favorit mereka adalah saat tampil di Ubud Writers And Readers Festival dan Rock Revolt In Paradise di Bali.

Akan tetapi, menunjukkan eksistensi musik mereka sendiri bukanlah perkara mudah. Beberapa kritikus konservatif menganggap aliran musik band ini bertentangan dengan agama dan menyiratkan pesan kebencian bagi wanita.Namun, cuitan para penentang tidak menyurutkan semangat Voice of Baceprot untuk tetap menggaungkan hak bermusik mereka. “Kami tidak melakukan kesalahan. Islam adalah agama yang sangat toleran,” tutur band tersebut. 

Mayoritas pendengar menikmati — dan mengagungkan — pesan Voice of Baceprot untuk mengabaikan stereotip yang melekat dengan remaja putri serta agama mereka. Saat ini, Voice of Baceprot diikuti lebih dari 32.000 pengikut di Instagram, dengan artikel liputan dari kantor berita besar seperti NPRBBC News, dan The New York Times

Band ini menyebut penggemar mereka sebagai “salah satu sumber energi mereka,” dengan mengatakan “kami benar-benar merasa menjadi bagian dari dunia internasional yang membawa perubahan positif bagi generasi muda.”Dua lagu terpopuler Voice of Baceprot, “School Revolution” dan “The Enemy of Earth is You,” memprotes isu seperti intoleransi, perubahan iklim, akses ke pendidikan berkualitas, dan ketimpangan gender. 

 Sekalipun Firdda, Eusi, dan Widi mampu menyelesaikan pendidikan menengah mereka, dan Indonesia telah mengalami kemajuan terkait kesejahteraan perempuan dalam beberapa tahun terakhir, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Pada 2018, tercatat hampir dua juta perempuan putus sekolah, terutama di daerah pedesaan dan komunitas marginal. Negara ini juga menempati peringkat kedelapan tertinggi dalam jumlah pernikahan di bawah umur di dunia. 

(Courtesy of Putu Sayoga / The Week)

(Courtesy of Putu Sayoga / The Week)

Para gadis ini meyakini musik adalah cara terbaik dalam mengangkat masalah yang ada di negara mereka dan di dunia. “Kami adalah generasi muda yang akan berperan penting dalam kemajuan peradaban manusia. Kami tidak ingin generasi selanjutnya mewarisi sistem maupun pola pikir yang salah,” ungkap band tersebut. “Sebagai hal yang mudah diterima banyak orang, kami meyakini musik adalah salah satu hal yang dapat membawa kita menuju perubahan yang lebih baik.”

flower.png
Meet the Author
Meet the Author
Amari Rose Leigh

is a Malala Fund editorial intern. She enjoys exploring new cities and learning new languages.